Akhir-akhir ini negri kita disugui berita-berita tentang demo
penistaan agama yang dilakukan oleh calon petahanan gubenur DKI Jakarta. Maka dari
itu mari kita bahas dan kupas untuk saling mengingatkan dan belajar dari
masalah penistaan agama ini dari segala sumber dan semua sudut pandang serta hukum
yang berlaku. Pada dasarnya masalah ini kita bagi menjadi:
1.
Pengertian demo dan penistaan
2.
Hubungan Penistaan Agama dengan Pancasila
3.
Hukum menghina Alquran
4.
Menurut Hukum
Sepertinya empat bagian ini kiranya
sangat erat dan perlu pemahaman yang lebih dalam kasus ini karena paling
bersinggungan langsung dengan kasus ini. Oke tanpa bercakap-cakap lagi mari
kita bahas langsung.
Pengertian demo dan penistaan
Unjuk rasa atau demonstrasi ("demo")
adalah sebuah gerakan protes yang
dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk
menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang
dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya
penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok.
Penistaan
& Fitnah adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu
atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu
atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi
seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
Dalam arti hukum, Penistaan & Fitnah adalah
perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat
memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak
pelaku Pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang
menggunakan atau menerapkan Penistaan & Fitnah ini
disebut Hate Site. Kebanyakan dari situs ini menggunakan forum
internet dan berita untuk mempertegas suatu sudut pandang tertentu.
R. Susilo menerangkan bahwa yang dimaksud dari
"menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik
seseorang". Yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu.
Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu:
v Menista
secara lisan (smaad)
v Menista
dengan surat/tertulis (smaadschrift)
v Memfitnah
(laster)
v Penghinaan
ringan (eenvoudige belediging)
v Mengadu
secara memfitnah (lasterlijke aanklacht)
v Tuduhan
secara memfitnah (lasterlijke verdachtmaking)
Hubungan Penistaan Agama dengan Pancasila
Kehidupan beragama tentunya
adalah urusan setiap individu denganTuhan Yang Maha Esa. Antar pemeluk
agama tidak dibenarkan jika saling menyalahkan, namun sebagai pemeluk agam yang
baik tentunya tidak dibenarkan juga jika diam saja ketika agam yang dianut
dilecehkan. Kehidupan beragama jika dikaitkan dengan pancasila secara umum
berhubungan dengan kelima sila-sila yang ada. Namun lebih besar keterkaitannya
dengan sila pertama“Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kebebasan bagi warga
NegaraIndonesia untuk memeluk suatu agama telah dijamin dalam UUD 1945,
selain itu juga dijelaskan dalam butir-butir sila pertama pancasila “Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Penistaan agama tidaklah secara mutlak berhubungan dengan
Pancasila, ini dikarenakan dalam sila pertama pancasila tidak terdapat aturan
yang jelas aliran apa dan aliran yang bagaimana yang disebut sebagai aliran
yang menistaklan agama/menyimpang dari agama tertentu. Makna dan arti dalam
sila pertama Pancasila sebagai berikut
1.
Mengandung arti pengakuan adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan yang Maha Esa
2.
Menjamin penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan
beribadah menurut agamanya.
3.
Tidak memaksa warga negara untuk beragama.
4.
Menjamin berkembang dan tumbuh suburnya kehidupan beragama.
5.
Bertoleransi dalam beragama, dalam hal ini toleransi ditekankan
dalam beribadah menurut agamanya masing-masing.
6.
Negara memberi fasilitator bagi tumbuh kembangnya agama dan iman
warga negara dan mediator ketika terjadi konflik agama.
Secara garis besar dapat kita
artikan jika sila pertama pancasila mengakui adanya kuasa prima (sebab pertama)
yaitu Tuhan Yang Maha Esa, menjamin untuk setiap warga Negara Indonesia memeluk
agama sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan, serta toleransi beragama. Jika
dikaitakan dengan Pancasila, penistaaan agama tidak dapat disalahkan secara
penuh. Penistaan agama akan jelas jika dikaitakan dengan aturan-aturan yang ada
dalam agama tersebut.
Hukum Menghina al-Quran
Al-Quran adalah kalam Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Karena itu, setiap Muslim wajib memuliakan
dan mensucikan al-Quran. Para Ulama sepakat bahwa memuliakan dan mensucikan
al-Quran adalah wajib. Karenanya, siapa saja kaum Muslim yang menghina
al-Quran, berarti telah melakukan dosa besar, bahkan telah dinyatakan murtad
dari Islam. Imam an-Nawawi, dalam At-Tibyan
fi Adabi Hamalah al-Qur’an, menyatakan:
Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf
al-Quran dan memuliakan-nya. Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada
seorang Muslim melemparkan al-Quran ke tempat kotor maka dihukumi kafir
(murtad).” Mereka juga berkata, “Haram menjadikan al-Quran sebagai bantal.
Bukan hanya itu, bahkan para ulama telah mengharamkan menjadikan kitab-kitab
yang penuh dengan ilmu sebagai bantal atau tempat bersandar.” Dalam rangka
memuliakan al-Quran disunnahkan jika kita melihat al-Quran untuk berdiri,
karena berdiri untuk menghormati ulama dan orang-orang terhormat adalah sunnah,
apalagi menghormati al-Quran. Diriwayatkan dari Ibn Abi Malikah bahwa Ikrimah
bin Abi Jahal pernah meletakan al-Quran di depan wajahnya, seraya berkata,
“Wahai kitab Tuhanku, wahai kitab Tuhanku.”
Di antara penyebab kekufuran (murtad) bagi seorang Muslim adalah
mencaci-maki dan menghinakan perkara yang diagungkan dalam agama, mencaci-maki
Rasulullah saw, mencaci-maki malaikat serta menistakan mushaf al-Quran dan
melemparkannya ke tempat yang kotor. Semua itu termasuk penyebab kekufuran
(murtad). Al-Qadhi Iyadh pernah berkata, “Ketahuilah
bahwa siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran,
atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli
Ilmu.” (Asy-Syifa,
II/1101).
Dalam kitab Asna
al-Mathalib dinyatakan,
mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina, baik secara
verbal, lisan maupun dalam hati, kitab suci al-Quran atau hadis Nabi saw.
dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, maka dihukumi murtad.
Dalam kitab Al-Fatawa
al-Hindiyyah, mazhab Hanafi menyatakan, bahwa jika seseorang
menginjakkan kakinya ke mushaf, dengan maksud menghinanya, maka dinyatakan
murtad (kafir).
Dalam Hasyiyah
al-‘Adawi, mazhab Maliki menyatakan, meletakkan mushaf di tanah
dengan tujuan menghina al-Quran dinyatakan murtad.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah
al-Fiqhiyyah dinyatakan,
ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina al-Quran, mushaf, satu
bagian dari mushaf, atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan satu
saja hukum atau informasi yang dinyatakannya, atau meragukan isinya, atau
berusaha melecehkannya dengan tindakan tertentu, seperti melemparkannya di
tempat-tempat kotor, maka dinyatakan kafir (murtad).
Inilah hukum syariah yang disepakati oleh para fukaha dari
berbagai mazhab, bahwa hukum menghina al-Quran jelas-jelas haram, apapun
bentuknya, baik dengan membakar, merobek, melemparkan ke toilet maupun
menafikan isi dan kebenaran ayat dan suratnya. Jika pelakunya Muslim, maka
dengan tindakannya itu dia dinyatakan kafir (murtad). Jika dia non-Muslim, dan
menjadi Ahli Dzimmah, maka dia dianggap menodai dzimmah-nya, dan bisa dijatuhi
sanksi yang keras oleh negara. Jika dia non-Muslim dan bukan Ahli Dzimmah, tetapi Mu’ahad, maka tindakannya bisa
merusak mu’ahadah-nya,
dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Jika dia
non-Muslim Ahli
Harb, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk
memaklumkan perang terhadapnya dan negaranya.
Karena itu, sanksinya pun berat. Orang Muslim yang menghina
al-Quran akan dibunuh, karena telah dinyatakan murtad. Jika dia non-Muslim Ahli Dzimmah, maka dia harus
dikenai ta’zir yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman
mati. Bagi non-Muslim non-Ahli Dzimmah, maka Khilafah akan
membuat perhitungan dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah
untuk memerangi negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan
Islam dan kaum Muslim.
Nabi saw. bersabda:
الإِÙ…َامُ جُÙ†َّØ©ٌ ÙŠُÙ‚ََاتَÙ„ُ Ù…ِÙ†ْ
ÙˆَرَائِÙ‡ِ ÙˆَÙŠُتَّÙ‚َÙ‰ بِÙ‡ِ
Imam (khalifah/kepala negara) adalah perisai; rakyat akan
berperang di belakangnya dan dia akan dijadikan sebagai tempat berlindung (HR Muslim).
Apa yang dinyatakan oleh Nabi di atas, bahwa Imam (Khalifah) adalah
perisai benar-benar terbukti. Tanpa Khilafah, al-Quran tidak ada yang
melindungi. Penistaan terhadap kitab suci itu pun terus berlangsung
siang-malam, baik yang dilakukan oleh kaum kafir di Barat maupun Timur, bahkan
di negeri kaum Muslim sendiri. Andai saja Khilafah ada, niscaya penistaan demi
penistaan seperti ini tidak akan terjadi.
Dalam pandangan Islam, segala bentuk penistaan terhadap Islam
dan syiar-syiarnya sama dengan ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas
oleh Khilafah. Seorang Muslim yang melakukan penistaan dihukumi murtad dan dia
akan dihukum mati. Bagi non-Muslim Ahli
Dzimmah, bisa dikenai ta’zir yang sangat berat, hingga sampai pada
hukuman mati. Bagi non-Muslim yang tinggal di negara kafir seperti AS, Belanda
dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadapnya untuk
menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani
melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.
Rasulullah saw. sebagai kepala negara Islam pernah memaklumkan
perang terhadap Yahudi Bani Qainuqa’, karena telah menodai kehormatan seorang
Muslimah, dan mengusir mereka dari Madinah, karena dianggap menodai perjanjian
mereka dengan negara. Al-Mu’tashim juga melakukan hal yang sama terhadap orang
Kristen Romawi hingga Amuriyah jatuh ke tangan kaum Muslim. Ketika Nabi saw.
dihina oleh seniman Inggris, Khilafah Utsmaniyah, mengirim peringatan perang,
dan mereka pun tak berani berbuat lancang.
Karena itu, adanya Khilafah dan pasukannya untuk melindungi
kesucian dan kehormatan Islam, termasuk kitab suci dan Nabinya, mutlak
diperlukan, sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Jika saat ini umat Islam tidak
mempunyai khalifah, dan para penguasa mereka pun tidak melakukan tugas dan
tanggungjawab untuk membela agama Allah, bahkan berlomba memerangi Allah dan
Rasul-Nya demi kerelaan AS dan sekutunya, maka kewajiban umat Islam saat ini
adalah mengenyahkan para penguasa seperti itu, dan membaiat seorang khalifah
untuk memerintah dengan kitab Allah dan sunah Rasul-Nya; lalu menerapkan hukum
syariah; menjaga kekayaan, kehormatan dan kemuliaan umat Islam sehingga tidak
akan dihinakan lagi.
Kewajiban umat Islam seluruhnya yang paling segera adalah tidak
tidur hingga duta-duta negara-negara kafir penjajah itu ditutup dan diusir dari
negeri kita. Kemudian dimaklumkan jihad untuk mengusir setiap jejak tentara
Barat (kafir) yang menyerang negeri-negeri kaum Muslim. Lalu mengambil tindakan
tegas yang akan membuat para penguasa negara-negara Barat berhitung seribu kali
sebelum melecehkan kemuliaan Islam, simbol dan ajarannya; baik dalam
pembangunan masjid, menara masjid, purdah maupun yang lain. Pada saat itu, umat
Islam tidak perlu lagi hidup dalam masyarakat Barat yang terus-menerus
merongrong agamanya siang dan malam. Wallahu
a’lam.
Hukuman
bagi Penghina al-Qur’an di Masa Rasulullah SAW....
Adalah di zaman Rasulullah saw ada seorang munafik bernama Abi Sarah yang ditugaskan untuk menulis wahyu. Abi Sarah berbalik menjadi murtad dan kafir, kemudian mengumumkan kemurtadannya terhadap Islam dan berbalik pada kelompok orang-orang kafir Quraisy di kota Makkah.
Manakala Abi Sarah ditanya oleh para kafir musyrikin terhadap pengalamannya pernah diminta untuk menuliskan wahyu, dengan bangganya Abi Sarah mengatakan bahwa ternyata Nabi Muhammad itu dapat aku “bodohi”. Ketika dia mengimlakan kepadaku ayat [عزيز Øكيم] “Aziizun Hakim” aku justru menuliskan [عليم Øكيم] “Alimun Hakim” dan Muhammad mempercayainya begitu saja.
Tentu saja lelucon Abi Sarah yang bermaksud menghinakan al-Qur’an sekaligus mencemooh nabi Muhammad Saw disambut gelak tawa kepuasaan pembenci Islam. Mereka seakan menganggap bahwa Rasulullah gampang dibodohi dan dibohongi hanya oleh seorang bernama Abi Sarah.
Berita kebohongan yang disampaikan oleh Abi Sarah pun telah sampai ke telinga Rasulullah dan para sahabat. Apa yang terjadi kemudian? Apakah berita itu dianggap kabar angin saja? Ternyata tidak! Penghinaan dan penistaan terhadap kalamullah sekaligus Rasulullah Saw memiliki hukum tersendiri di dalam Islam.
Beberapa tahun kemudian, ketika kekuatan umat Islam telah bertambah semakin kuat dan banyak hingga menyebar ke beberapa jazirah di negara Arab, ekspansi selanjutnya adalah menaklukkan kota Makkah yang lebih dikenal dengan istilah Fath Makkah.
Ketika umat Islam telah berhasil menguasai kota Makkah, kaum kafir Quraisy menyerah tanpa syarat. Mereka tunduk atas segala ketentuan serta balasan terhadap permusuhan mereka terhadap kaum muslimin puluhan tahun yang lalu.
Rasulullah Saw memaafkan segala bentuk kekerasan, kekejaman serta permusuhan kafir Quraisy Makkah. Namun, ada satu hal yang tidak terlupakan. Ingatan kaum muslimin terhadap penghinaan serta penistaan Islam yang pernah dilakukan seorang munafik bernama Abi Sarah tidak serta merta hilang begitu saja. Apa tindakan balasan atas penghinaan Abi Sarah terhadap al-Qur’an?
Rasulullah saw dengan tegasnya memerintahkan para pasukan elit untuk mencari Abi Sarah serta beberapa orang yang melakukan penistaan yang sama, seperti Abdullah bin Hilal bin Khatal dan Miqyas bin Shubabah. Rasulullah saw menginstruksikan ketiga orang ini untuk dieksekusi mati sekalipun mereka bergantung di sisi Ka’bah.
Dalam hal menyikapi para penebar fitnah penistaan agama, Islam tidak main-main. Para ulama sepakat bahwa hukuman bagi penghina al-Qur’an, maupun penghina Rasulullah Saw adalah hukuman eksekusi mati. Bahkan banyak para ulama yang menulis khusus kitab-kitab yang berkenaan dengan sanksi hukum bagi penghina al-Qur’an dan penghina Rasulullah Saw.
Diantara kitab yang terkenal adalah karangan Imam as-Subki [683-756 H] yang berjudul “As-Syaif al-Maslul ‘Ala Man Sabb ar-Rasul” [Pedang yang Terhunus atas Pencela Rasul] dan selanjutnya lebih dari 350 tahun berikutnya seorang ahli muhadits Imam Muhammad Hasyim bin Abdul Gafhur [1104-11743 H] juga menulis sebuah kitab yang berjudul “as-Saif al-Jali ‘ala Man Sabb an-Nabi “ [Pedang yang Berkilat Atas Penghina Nabi].
Sikap Para Ulama Terhadap Penghina al-Qur’an
Para Ulama sepakat bahwa memuliakan dan mensucikan al-Quran adalah wajib. Karenanya, siapa saja kaum Muslim yang menghina al-Quran, berarti telah melakukan dosa besar, bahkan telah dinyatakan murtad dari Islam.
Imam an-Nawawi, dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an, menyatakan: “Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf al-Quran dan memuliakan-nya. Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada seorang Muslim melemparkan al-Quran ke tempat kotor maka dihukumi kafir (murtad).”
Di antara penyebab kekufuran (murtad) bagi seorang Muslim adalah mencaci-maki dan menghinakan perkara yang diagungkan dalam agama, mencaci-maki Rasulullah saw, mencaci-maki malaikat serta menistakan mushaf al-Quran dan melemparkannya ke tempat yang kotor. Semua itu termasuk penyebab kekufuran (murtad).
Al-Qadhi Iyadh pernah berkata, “Ketahuilah bahwa siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Asy-Syifa, II/1101).
Dalam kitab Asna al-Mathalib dinyatakan, mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina, baik secara verbal, lisan maupun dalam hati, kitab suci al-Quran atau hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, maka dihukumi murtad.
Dalam kitab Al-Fatawa al-Hindiyyah, mazhab Hanafi menyatakan, bahwa jika seseorang menginjakkan kakinya ke mushaf, dengan maksud menghinanya, maka dinyatakan murtad (kafir).
Dalam Hasyiyah al-‘Adawi, mazhab Maliki menyatakan, meletakkan mushaf di tanah dengan tujuan menghina al-Quran dinyatakan murtad.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah dinyatakan, ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina al-Quran, mushaf, satu bagian dari mushaf, atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan satu saja hukum atau informasi yang dinyatakannya, atau meragukan isinya, atau berusaha melecehkannya dengan tindakan tertentu, seperti melemparkannya di tempat-tempat kotor, maka dinyatakan kafir (murtad).
Inilah hukum syariah yang disepakati oleh para fukaha dari berbagai mazhab, bahwa hukum menghina al-Quran jelas-jelas haram, apapun bentuknya, baik dengan membakar, merobek, melemparkan ke toilet maupun menafikan isi dan kebenaran ayat dan suratnya.
Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu dia dinyatakan kafir (murtad). Jika dia non-Muslim, dan menjadi Ahli Dzimmah, maka dia dianggap menodai dzimmah- nya, dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara.
Jika dia non-Muslim dan bukan Ahli Dzimmah, tetapi Mu’ahad, maka tindakannya bisa merusakmu’ahadah-nya, dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Jika dia non-Muslim Ahli Harb, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang terhadapnya dan negaranya.
Karena itu, sanksinya pun berat. Orang Muslim yang menghina al-Quran akan dibunuh, karena telah dinyatakan murtad. Jika dia non-Muslim Ahli Dzimmah, maka dia harus dikenai ta’zir yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman mati.
Bagi non-Muslim non-Ahli Dzimmah, maka negara wajib membuat perhitungan dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah untuk memerangi negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Adalah di zaman Rasulullah saw ada seorang munafik bernama Abi Sarah yang ditugaskan untuk menulis wahyu. Abi Sarah berbalik menjadi murtad dan kafir, kemudian mengumumkan kemurtadannya terhadap Islam dan berbalik pada kelompok orang-orang kafir Quraisy di kota Makkah.
Manakala Abi Sarah ditanya oleh para kafir musyrikin terhadap pengalamannya pernah diminta untuk menuliskan wahyu, dengan bangganya Abi Sarah mengatakan bahwa ternyata Nabi Muhammad itu dapat aku “bodohi”. Ketika dia mengimlakan kepadaku ayat [عزيز Øكيم] “Aziizun Hakim” aku justru menuliskan [عليم Øكيم] “Alimun Hakim” dan Muhammad mempercayainya begitu saja.
Tentu saja lelucon Abi Sarah yang bermaksud menghinakan al-Qur’an sekaligus mencemooh nabi Muhammad Saw disambut gelak tawa kepuasaan pembenci Islam. Mereka seakan menganggap bahwa Rasulullah gampang dibodohi dan dibohongi hanya oleh seorang bernama Abi Sarah.
Berita kebohongan yang disampaikan oleh Abi Sarah pun telah sampai ke telinga Rasulullah dan para sahabat. Apa yang terjadi kemudian? Apakah berita itu dianggap kabar angin saja? Ternyata tidak! Penghinaan dan penistaan terhadap kalamullah sekaligus Rasulullah Saw memiliki hukum tersendiri di dalam Islam.
Beberapa tahun kemudian, ketika kekuatan umat Islam telah bertambah semakin kuat dan banyak hingga menyebar ke beberapa jazirah di negara Arab, ekspansi selanjutnya adalah menaklukkan kota Makkah yang lebih dikenal dengan istilah Fath Makkah.
Ketika umat Islam telah berhasil menguasai kota Makkah, kaum kafir Quraisy menyerah tanpa syarat. Mereka tunduk atas segala ketentuan serta balasan terhadap permusuhan mereka terhadap kaum muslimin puluhan tahun yang lalu.
Rasulullah Saw memaafkan segala bentuk kekerasan, kekejaman serta permusuhan kafir Quraisy Makkah. Namun, ada satu hal yang tidak terlupakan. Ingatan kaum muslimin terhadap penghinaan serta penistaan Islam yang pernah dilakukan seorang munafik bernama Abi Sarah tidak serta merta hilang begitu saja. Apa tindakan balasan atas penghinaan Abi Sarah terhadap al-Qur’an?
Rasulullah saw dengan tegasnya memerintahkan para pasukan elit untuk mencari Abi Sarah serta beberapa orang yang melakukan penistaan yang sama, seperti Abdullah bin Hilal bin Khatal dan Miqyas bin Shubabah. Rasulullah saw menginstruksikan ketiga orang ini untuk dieksekusi mati sekalipun mereka bergantung di sisi Ka’bah.
Dalam hal menyikapi para penebar fitnah penistaan agama, Islam tidak main-main. Para ulama sepakat bahwa hukuman bagi penghina al-Qur’an, maupun penghina Rasulullah Saw adalah hukuman eksekusi mati. Bahkan banyak para ulama yang menulis khusus kitab-kitab yang berkenaan dengan sanksi hukum bagi penghina al-Qur’an dan penghina Rasulullah Saw.
Diantara kitab yang terkenal adalah karangan Imam as-Subki [683-756 H] yang berjudul “As-Syaif al-Maslul ‘Ala Man Sabb ar-Rasul” [Pedang yang Terhunus atas Pencela Rasul] dan selanjutnya lebih dari 350 tahun berikutnya seorang ahli muhadits Imam Muhammad Hasyim bin Abdul Gafhur [1104-11743 H] juga menulis sebuah kitab yang berjudul “as-Saif al-Jali ‘ala Man Sabb an-Nabi “ [Pedang yang Berkilat Atas Penghina Nabi].
Sikap Para Ulama Terhadap Penghina al-Qur’an
Para Ulama sepakat bahwa memuliakan dan mensucikan al-Quran adalah wajib. Karenanya, siapa saja kaum Muslim yang menghina al-Quran, berarti telah melakukan dosa besar, bahkan telah dinyatakan murtad dari Islam.
Imam an-Nawawi, dalam At-Tibyan fi Adabi Hamalah al-Qur’an, menyatakan: “Para ulama telah sepakat tentang kewajiban menjaga mushaf al-Quran dan memuliakan-nya. Para ulama Mazhab Syafii berkata, “Jika ada seorang Muslim melemparkan al-Quran ke tempat kotor maka dihukumi kafir (murtad).”
Di antara penyebab kekufuran (murtad) bagi seorang Muslim adalah mencaci-maki dan menghinakan perkara yang diagungkan dalam agama, mencaci-maki Rasulullah saw, mencaci-maki malaikat serta menistakan mushaf al-Quran dan melemparkannya ke tempat yang kotor. Semua itu termasuk penyebab kekufuran (murtad).
Al-Qadhi Iyadh pernah berkata, “Ketahuilah bahwa siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Asy-Syifa, II/1101).
Dalam kitab Asna al-Mathalib dinyatakan, mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina, baik secara verbal, lisan maupun dalam hati, kitab suci al-Quran atau hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, maka dihukumi murtad.
Dalam kitab Al-Fatawa al-Hindiyyah, mazhab Hanafi menyatakan, bahwa jika seseorang menginjakkan kakinya ke mushaf, dengan maksud menghinanya, maka dinyatakan murtad (kafir).
Dalam Hasyiyah al-‘Adawi, mazhab Maliki menyatakan, meletakkan mushaf di tanah dengan tujuan menghina al-Quran dinyatakan murtad.
Dalam kitab Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah dinyatakan, ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang menghina al-Quran, mushaf, satu bagian dari mushaf, atau mengingkari satu huruf darinya, atau mendustakan satu saja hukum atau informasi yang dinyatakannya, atau meragukan isinya, atau berusaha melecehkannya dengan tindakan tertentu, seperti melemparkannya di tempat-tempat kotor, maka dinyatakan kafir (murtad).
Inilah hukum syariah yang disepakati oleh para fukaha dari berbagai mazhab, bahwa hukum menghina al-Quran jelas-jelas haram, apapun bentuknya, baik dengan membakar, merobek, melemparkan ke toilet maupun menafikan isi dan kebenaran ayat dan suratnya.
Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu dia dinyatakan kafir (murtad). Jika dia non-Muslim, dan menjadi Ahli Dzimmah, maka dia dianggap menodai dzimmah- nya, dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara.
Jika dia non-Muslim dan bukan Ahli Dzimmah, tetapi Mu’ahad, maka tindakannya bisa merusakmu’ahadah-nya, dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Jika dia non-Muslim Ahli Harb, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang terhadapnya dan negaranya.
Karena itu, sanksinya pun berat. Orang Muslim yang menghina al-Quran akan dibunuh, karena telah dinyatakan murtad. Jika dia non-Muslim Ahli Dzimmah, maka dia harus dikenai ta’zir yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman mati.
Bagi non-Muslim non-Ahli Dzimmah, maka negara wajib membuat perhitungan dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah untuk memerangi negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Menurut
hukum
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 156
Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 156
Barang siapa di rnuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beherapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa hagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bcrsifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
NOMOR 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN DAN/ATAU PENODAAN AGAMA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa dalam rangka pengamanan Negara dan Masyarakat, cita-cita Revolusi
Nasional dan pembangunan Nasional Semesta menuju ke masyarakat adil dan makmur,
perlu mengadakan peraturan untuk mencegah penyalah-gunaan atau penodaan agama;
b.
bahwa untuk pengamanan revolusi dan ketentuan masyarakat, soal ini perlu diatur
dengan Penetapan Presiden;
Mengingat:
1.
pasal 29 Undang-undang Dasar;
2.
pasal IV Aturan Peralihan Undang-undang Dasar;
3.
penetapan Presiden No. 2 tahun 1962 (Lembaran Negara tahun 1962 No. 34);
4.
pasal 2 ayat (1) Ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN
DAN/ATAU PENODAAN AGAMA.
Pasal 1
Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan,
menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran
tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan
keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu;
penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Pasal 2
(1)
Barang siapa melanggar ketentuan tersebut dalam pasal 1 diberi perintah dan
peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan
bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
(2)
Apabila pelanggaran tersebut dalam ayat (1) dilakukan oleh Organisasi atau
sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan
Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai
Organisasi/aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat
pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 3
Apabila, setelah dilakukan tindakan oleh Menteri Agama
bersama-sama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri atau oleh Presiden
Republik Indonesia menurut ketentuan dalam pasal 2 terhadap orang, Organisasi
atau aliran kepercayaan, mereka masih terus melanggar ketentuan dalam pasal 1,
maka orang, penganut, anggota dan/atau anggota Pengurus Organisasi yang
bersangkutan dari aliran itu dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun.
Pasal 4
Pada Kitab Undang-undang Hukum
Pidana diadakan pasal baru yang berbunyi sebagai berikut:
"Pasal 156a.
Dipidana
dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di
muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a.
yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap
suatu agama yang dianut di Indonesia;
b.
dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang
bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa."
Pasal 5.
Penetapan Presiden Republik Indonesia ini mulai berlaku pada hari
diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Penetapan Presiden Republik Indonesia ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965
Presiden Republik Indonesia,
SUKARNO.
pada tanggal 27 Januari 1965
Presiden Republik Indonesia,
SUKARNO.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1965
Sekretaris Negara,
MOHD. ICHSAN.
pada tanggal 27 Januari 1965
Sekretaris Negara,
MOHD. ICHSAN.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
LEMBARAN NEGARA RI
No. 2726
|
(Penjelasan
Atas Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3)
|
PENJELASAN
ATAS
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NO. 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU
PENODAAN AGAMA
ATAS
PENETAPAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NO. 1 TAHUN 1965
TENTANG
PENCEGAHAN PENYALAH-GUNAAN DAN/ATAU
PENODAAN AGAMA
I. UMUM
1.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945
berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia telah menyatakan, bahwa Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan
dengan konstitusi tersebut.
Menurut
Undang-undang Dasar 1945 Negara kita berdasarkan:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan.
Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisahpisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. Kerakyatan;
5. Keadilan Sosial.
Sebagai dasar pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa bukan saja meletakkan dasar moral di atas Negara dan Pemerintah, tetapi juga memastikan adanya kesatuan Nasional yang berasas keagamaan.
Pengakuan sila pertama (Ke-Tuhanan Yang Maha Esa) tidak dapat dipisahpisahkan dengan Agama, karena adalah salah satu tiang pokok daripada perikehidupan manusia dan bagi bangsa Indonesia adalah juga sebagai sendi perikehidupan Negara dan unsur mutlak dalam usaha nation-building.
2.
Telah ternyata, bahwa pada akhir-akhir ini hampir di seluruh Indonesia tidak
sedikit timbul aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan
masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama.
Di
antara ajaran-ajaran/perbuatan-perbuatan pada pemeluk aliran-aliran tersebut
sudah banyak yang telah menimbulkan hal-hal yang melanggar hukum, memecah
persatuan Nasional dan menodai Agama. Dari kenyataan teranglah, bahwa
aliran-aliran atau Organisasi-organisasi kebatinan/kepercayaan masyarakat yang
menyalahgunakan dan/atau mempergunakan Agama sebagai pokok, pada akhir-akhir
ini bertambah banyak dan telah berkembang ke arah yang sangat membahayakan
Agama-agama yang ada.
3.
Untuk mencegah berlarut-larutnya hal-hal tersebut di atas yang dapat
membahayakan persatuan Bangsa dan Negara, maka dalam rangka kewaspadaan
Nasional dan dalam Demokrasi Terpimpin dianggap perlu dikeluarkan Penetapan
Presiden sebagai realisasi Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang merupakan
salah satu jalan untuk menyalurkan ketata-negaraan dan keagamaan, agar oleh
segenap rakyat di seluruh wilayah Indonesia ini dapat dinikmati ketenteraman
beragama dan jaminan untuk menunaikan ibadah menurut Agamanya masing-masing.
4.
Berhubung dengan maksud memupuk ketenteraman beragama inilah, maka Penetapan
Presiden ini pertama-tama mencegah agar jangan sampai terjadi penyelewengan-penyelewengan
dari ajaran-ajaran agama yang dianggap sebagai ajaran-ajaran pokok oleh para
ulama dari agama yang bersangkutan (pasal 1-3); dan kedua kalinya aturan ini
melindungi ketenteraman beragama tersebut dari penodaan/penghinaan serta dari
ajaran-ajaran untuk tidak memeluk agama yang bersendikan Ke-Tuhanan Yang Maha
Esa/(Pasal 4).
5.
Adapun penyelewengan-penyelewengan keagamaan yang nyata-nyata merupakan
pelanggaran pidana dirasa tidak perlu diatur lagi dalam peraturan ini, oleh
karena telah cukup diaturnya dalam berbagai-bagai aturan pidana yang telah ada.
Dengan
Penetapan Presiden ini tidaklah sekali-kali dimaksudkan hendak mengganggu gugat
hak hidup agama-agama yang sudah diakui oleh Pemerintah sebelum Penetapan
Presiden ini diundangkan.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Dengan kata-kata "Di muka Umum" dimaksudkan apa yang
lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.
Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.
Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama-agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain.
Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya ke arah pandangan yang sehat dan ke arah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Hal ini sesuai dengan ketetapan M.P.R.S. No. II/MPRS/1960, lampiran A. Bidang I, angka 6.
Dengan kata-kata "Kegiatan keagamaan" dimaksudkan segala macam kegiatan yang bersifat keagamaan, misalnya menamakan suatu aliran sebagai Agama, mempergunakan istilah-istilah dalam menjalankan atau mengamalkan ajaran-ajaran kepercayaannya ataupun melakukan ibadahnya dan sebagainya. Pokok-pokok ajaran agama dapat diketahui oleh Departemen Agama yang untuk itu mempunyai alat-alat/cara-cara untuk menyelidikinya.
Pasal 2
Sesuai dengan kepribadian Indonesia, maka terhadap orang-orang
ataupun penganut-penganut sesuatu aliran kepercayaan maupun anggota atau
anggota Pengurus Organisasi yang melanggar larangan tersebut dalam pasal 1,
untuk permulaannya dirasa cukup diberi nasehat seperlunya.
Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo. pasal 169 K.U.H.P.).
Apabila penyelewengan itu dilakukan oleh organisasi atau penganut-penganut aliran kepercayaan dan mempunyai effek yang cukup serius bagi masyarakat yang beragama, maka Presiden berwenang untuk membubarkan organisasi itu dan untuk menyatakan sebagai organisasi atau aliran terlarang dengan akibat-akibatnya (jo. pasal 169 K.U.H.P.).
Pasal 3
Pemberian ancaman pidana yang diatur dalam pasal ini, adalah
tindakan lanjutan terhadap anasir-anasir yang tetap mengabaikan peringatan
tersebut, dalam pasal 2. Oleh karena aliran kepercayaan biasanya tidak
mempunyai bentuk seperti organisasi/perhimpunan, di mana mudah dibedakan siapa
pengurus dan siapa anggotanya, maka mengenai aliran-aliran kepercayaan, hanya
penganutnya yang masih terus melakukan pelanggaran dapat dikenakan pidana,
sedang pemuka aliran sendiri yang menghentikan kegiatannya tidak dapat
dituntut.
Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Mengingat sifat idiil dari tindak pidana dalam pasal ini, maka ancaman pidana 5 tahun dirasa sudah wajar.
Pasal 4
Maksud ketentuan ini telah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum
di atas. Cara mengeluarkan persamaan atau melakukan perbuatan dapat dilakukan
dengan lisan, tulisan ataupun perbuatan lain.
Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.
Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.
Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya.
Huruf a, tindak pidana yang dimaksudkan di sini, ialah yang semata-mata (pada pokoknya) ditujukan kepada niat untuk memusuhi atau menghina.
Dengan demikian, maka, uraian-uraian tertulis maupun lisan yang dilakukan secara obyektif, zakelijk dan ilmiah mengenai sesuatu agama yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kata-kata yang bersifat permusuhan atau penghinaan, bukanlah tinak pidana menurut pasal ini.
Huruf b, Orang yang melakukan tindak pidana tersebut di sini, di samping mengganggu orang beragama, pada dasarnya menghianati sila pertama dari Negara secara total, dan oleh karenanya adalah pada tempatnya, bahwa perbuatannya itu dipidana sepantasnya.
Pasal 5
Cukup Jelas
Dari semua yang kita bahas diatas
dapat kita menyimpulkan bahwa
1. Unjuk rasa atau demonstrasi ("demo")
adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di
hadapan umum. Penistaan & Fitnah adalah tindakan komunikasi yang dilakukan
oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun
hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis,
gender, cacat, orientasi seksual ,kewarganegaraan, agama, dan lain-lain.
2. Jika dikaitakan dengan Pancasila, penistaaan agama tidak dapat
disalahkan secara penuh. Penistaan agama akan jelas jika dikaitakan dengan
aturan-aturan yang ada didalam agama tersebut.
3.
Orang Muslim yang menghina al-Quran akan dibunuh, karena telah
dinyatakan murtad. Jika dia non-Muslim Ahli
Dzimmah, maka dia harus dikenai ta’zir yang sangat berat, bisa dicabut dzimmah-nya, hingga sanksi hukuman
mati. Bagi non-Muslim non-Ahli Dzimmah, maka Khilafah akan
membuat perhitungan dengan negaranya, bahkan bisa dijadikan alasan Khalifah
untuk memerangi negaranya, dengan alasan menjaga kehormatan dan kepentingan
Islam dan kaum Muslim. Tapi karena Negara kita Negara hukum dan dapat membuat
perpecahan serta melanggar ham hal ini tidaklah dibenarkan.
4.
Dari sudut pandang hukum penistaan agama akan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Demikian pembaahasan kali ini, saya membuat ini bukan untuk
menjatuhkan atau membuat permusuhan antar beragama atau memecah belah bangsa
Indonesia. Aku hanya ingin kita saling belajar mengenai semua yang terjadi
sehingga kita dapat menyikapi dengan bijak setiap tindak tanduk kita, dan bukan
menunjukan siapa yang benar atau siapa yang lebih pintar karena sebenarnya saya
juga manusia biasa. Terimakasih
Comments
Post a Comment